It started and almost ended like any other day.
Right at my last task of the day –helping my boy prepare for bed-, he complained that his leg hurt. As he often falls and scrapes his knees due to his heavy-duty movements, I was ready to dismiss the complaint. Until he came to me to show me the part where he hurt. His right knee. A bump in his right knee. Not a swelling, but a hard lump. A lump the size of a chicken egg. Part of my training as an MD taught me to always compare left and right for physical examination of the limbs, and in this case, the right knee was definitely different from his left. That was quite a disturbing finding. My thoughts went back to my few years of hospital work, when I saw many cases of debilitating illness in children. All of which weighty and disheartening.
With alarming match, the signs pointed to possibility of an unpleasant growth. The hard, dense, fixated, tender mass was awfully suspicious. My heart was gripped with fear.
Now parenthood is unanonimously loaded with worries. Some of which are negligible. You worry when your kid won’t eat, you worry when your kid won’t poop, you worry when your kid has curved legs, and so on. When your kid bleeds from her nose, you wonder if it is some blood abnormality. When your kid has rash you wonder if it’s haemorrhagic fever. When your kid puke and pass watery stool to the point of dehydration, you wonder if he’s going to survive. Our hearts are no longer in its safe place the moment you are blessed with a child.
Many of those worries don’t make it to reality, of course. Worries are just worries, unpleasant as they are.
But from experience, I knew first hand that some of those worries really did become reality. Or rather, became your worst nightmares.
I have seen parents sat by their children’s hospital beds, holding their helpless little hands. Or helped the nurses take off yet another sheet full of blood or vomit, or held their beloved little bodies down by force, so that they could get proper treatments.
Some of them mercifully and miraculously got happy endings.
Others had to go home carrying their dead children’s limp little bodies, failed to comprehend why the world outside went on like nothing happened, while their world was falling apart.
I have held a broken mother’s in my arms, crying with her and dumbstruck by her story, “The 4 of us, my husband, myself, my daughter and my son came to this land in a transmigration program. Now only 3 or us will go home. Who would have thought, we came here just to lose our dear son.” All the while, her husband was swaying their dead boy’s body for one last time. The nurses said it already took too long, but I told them to let them be.
So some worries are unreal. But to those who happen to get the actual grave diagnoses, they are very much real.
So what’s the story of my boy’s knee lump?
As I did a little research, reading textbooks, and other resources, my finding seemed gloomy. I really, really hoped it wasn’t a bone mass, because bone masses are rarely benign, especially in children. The age, the gender, the location, all were really suspicious. Now my fear grew significantly more intense.
I fell on my knees before God. All I could do was beg in tears, “Please, Father, no... Please let this cup pass away from me...” And in a brief moment, somehow I could relate to Jesus’s prayer in Gethsemane. “But Thy will be done, not mine...” this last sentence came with another surge of tears, and less wholeheartedly uttered.
The God that I worship is unmistakably good. But it is His fondness of processes, sometimes seemingly merciless processes, that I often find too daunting for my liking.
Will this be another one of those nerve-wrecking processes? No....
We decided to take D to evaluation the next day. We prayed and prayed and begged for a good result.
Through X-ray we found out that the lump was not a bone mass. We still don’t know what that is, and we will need further evaluation. But our worst fear has lifted. The cup mercifully did pass away. Thank God.
Many would think that this is just another stupid parental over-anxiety. I had a friend bluntly stated I was beyond exaggerating.
Well I guess one can only see my point if he’s been diagnosed with cancer, or other grave or unexplained illness.
The anxiety seems silly alright. But the consequences are real. The fear of the unknown is also very real.
In this fallen world where anything dire can happen, I choose to see it from a humble perspective: a mere creation’s point of view. A human being who is powerless, vulnerable, and totally dependent upon her Creator’s mercy. Because this perspective allows me to surrender to God’s sovereignty. To entrust the unknown into His loving hands, wisdom, and plans. Plans of peace and not of evil.
Thy will be done.
“For I know the thoughts that I think toward you, saith the LORD, thoughts of peace, and not of evil, to give you an expected end.” Jeremiah 29:11
I'm a daughter of the King. A cherished wife and beloved mommy. A work in progress by God's own hands. My Heavenly Father is upholding, molding, and equipping me, sometimes against my will and understanding. My passion is being a helpmeet, nurturing my precious son, writing, and I hope to someday be back to medical practice.
Sunday, December 14, 2014
Friday, December 12, 2014
DIET!
Udah 3 bulanan ini kami menerapkan pola diet baru buat D, juga buat keluarga kami. Buat D karena berkaitan dengan “alergi” atau makanan-makanan yang “offensive” buat D, dan buat kami karena solidaritas :|
Jadi, sekitar 4-5 bulan lalu si D dites BIOTEK. Testnya di Jakarta, daerah Pluit. Jadi diambil darah 3 tetes doang dari ujung jari, terus dites makanan-makanan apa yang “menumpuk” di badannya D, yang gak kecerna dengan baik. Makanan-makanan ini sebagian adalah makanan yang harus dihindari, atau harus dirotasi, alias gak boleh dimakan saban hari. Idealnya, satu jenis makanan yang “gak numpuk” di dalam badan, hanya boleh dimakan sekali dalam kurun waktu 4 hari. Dan makanan yang “udah numpuk” alias titernya tinggi di dalam darahnya, kudu dihindari. Ada yang udah tinggi banget titernya, dan kudu dipantang sama sekali selama 6 bulan, baru setelah itu dites ulang untuk liat perkembangannya. Kalo masih tinggi ya kudu dipantangin terus, tapi kalo menurun, berarti makanan tersebut bisa dimakan lagi, dengan dirotasi setiap 4 hari sekali.
Kedengerannya rumit ya? Yah lumayan.
Saya orang yang gak bisa mikirin menu seminggu ke depan. Saya emang gak tiap hari ke pasar, sekali ke pasar saya nyetok daging-dagingan, buat masak A, B, C gitu aja. Gak kepikir bahwa hari senin saya mau masak A sama X, sama Y, hari selasanya saya masak B, W, Z. My brain just doesn’t work that way. Pernah nyoba bikin menu mingguan. Pas nyampe pasar liat bahan-bahan yang bagus dan lagi murah, saya bingung sendiri karena menu yang udah susah payah saya susun jadi kacau balau gara-gara diubah-ubah -.-‘
So, saya ini tipe orang yang hampir tiap hari butuh tukang sayur. Pagi-pagi saya baru mikir hari ini mau masak apa, sesuai stok yang ada di kulkas, yang ngga ada ya saya kudu mendadak beli.
Nah sejak diet rotasi 4 harian ini, saya mau gak mau terpaksa bikin menu, at least buat 4 hari, karena pada hari ke-5 kan udah bisa berulang ya. Hm. Cara yang bagus buat expand my capacity, in terms of daily cooking.
Puyeng?
Engga terlalu puyeng ya?
Tapi simak dulu dong pantangannya:
1. BIG no-no (sama sekali engga boleh, selama 6 bulan):
telur, susu, kedelai (termasuk kecap dan semua yang mengandung kedelai), jagung, udang, tiram, timun, semangka, rebung
2. NO:
terigu/gluten, bawang daun, selada, tomat, kangkung, brokoli, kol, kembang kol, kentang, seledri, wortel, jahe, ragi, talas, stroberi, jeruk, lemon, kiwi, melon, blewah, cumi, lobster, kepiting, labu siam, paprika, dan lain-lain (yang jarang ada di Indo dan hampir gak pernah kami konsumsi juga)
Sekarang udah puyeng? :D
Daging sih cukup banyak yang bisa dimakan: ayam, babi, sapi, ikan, bahkan kodok. Tapi susahnya kalo dalam sehari si D makan 2 macem daging, 2 daging itu baru boleh dimakan lagi 4 hari kemudian, jadi dalam sehari gak boleh terlalu banyak jenis daging yang boleh dimakan. Maka buat memudahkan, saya mencanangkan “hari daging tertentu”: jadi kalo hari ini hari ayam, kita makan daging ayam, sebisanya jangan makan daging lain. Pada hari sapi, kami sebisanya makan sapi aja (plus sayuran atau lauk lain). Dan pada hari2 sapi, saya perhatiin kok sekeluarga pada gak semangat makan. Ternyata kami sekeluarga gak terlalu doyan sapi, sodara-sodara, baru nyadar, hahaha... Akhirnya hari sapi pun ditiadakan :)
Kerjaan saya sehari-hari jadinya mikirin makanaaaaannn melulu. Ngejadualin menu sambil mikir ketersediaan bahannya dan boleh engganya dimakan, nyocokin sama jadual saya sehari-hari (waktu saya gak keburu masak karena ada pertemuan ortu atau sebangsanya, saya jadi kudu masak yang simpel aja), nyocokin jadual anaknya (karena selain 3 meals, saya juga kudu sediain dan masakin cemilannya dan bekalnya ke skul), kudu juga sediain makan siang buat helper part time kami, dan makanan kalo suami bakal makan di rumah. Diri sendiri udah kelaut deh. Gak sanggup lagi mikir -.-‘ Kadang dengan hati puas karena makanan plus cemilan buat D udah aman buat seharian atau buat keesokan harinya, saya gak sadar diri sendiri belom dikasih makan @.@
Dan daripada puas hati karena berhasilnya, lebih banyakan saya bengong ngeliatin “berkas-berkas” saya dengan pikiran nge-blank gak nemu solusi.
Puyeng banget mikirin menu. Kadang udah hepi banget karena berhasil nyusun menu yang masuk akal dan ideal, eh nyampe di pasar bahan-bahan yang saya cari gak ada! Kalo udah gituh, sakitnya tuh di siniiihhhh.... #tunjuk otak.
Rasanya sepanjang hari saya bisa bolak balik ngahuleng alias ngelangut mikirin menu. Rasanya saya jauh lebih banyak mikirin menu daripada mikirin yang lain. Rasanya kaya punya berhala baru *tepokjidat*
Kemudian saya baca Matius 6:25:
Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?
Iya ya.
Dan Matius 6:26:
Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?
Eh bukannya dapet pencerahan, saya malah jadi sirik sama burung-burung dan hewan-hewan. Kok enak ya, makan tinggal makan aja, gak pusing kayak saya?
Suatu ketika, pagi-pagi waktu saya lagi berpusing-pusing ria mikirin menu lagi, saya iseng sambil setel TV. Acaranya seri dokumenter berjudul “Natural Born Hunters”, alias film hewan-hewan gitu. (Ehm, iya saya emang demen nonton dokumenter hewan, kaya anak saya, dan juga kaya papa saya. Yup kami 3 generasi penggemar film hewan, hahaha...)
Anyway, di seri ini, mereka mengulas 3 jenis hewan dalam perjuangan mereka mencari makan dalam sehari itu. Ada cheetah yang berburu berulang-ulang tapi gak kunjung dapet mangsa, ada belalang yang dalam waktu singkat udah berhasil dapet banyak mangsa tapi terus dimangsa oleh hewan lain, dan lain-lain. Ternyata hewan-hewan pun kudu berjuang untuk makan, sering kali bertaruh nyawa dalam usahanya. Ternyata Tuhan memberi hewan-hewan ciptaan-Nya makanan, tapi enggak ditaruh di sarang mereka, kudu dicari dan diusahakan!
Satu-satunya tempat di mana seorang dewasa bisa dapet makanan 3x sehari gratis tanpa usaha atau meminta dalam jangka waktu yang lama adalah: di penjara :P
Setelah 2 bulanan ke mana-mana menggendong catetan menu, akhirnya saya berusaha lebih cuek. Bukan berarti dietnya disingkirin begitu aja (udah bayar berjuta-juta, mubasir juragaaann...), tapi diikutin sebisanya aja dah. Yang daftar BIG no-no sih emang beneran dipantang abis, tapi yang lain-lainnya go with the flow aja :P
Kalo gak ada pilihan yang lebih baik, ya udah lebih baik makan aja apa yang ada daripada gak makan, selama pilihan itu bukan daftar BIG no-no.
Eating healthy is good, but let’s not take it to the extreme. Setuju?
So far, BB saya dan anak saya turun sih *nangis meraung-raung*. So we are at wits end. Masih berusaha nyari balance yang sehat antara menghindari offensive foods sambil tetap feed ourselves.
Menutup posting kali ini, saya mau share resep kukis tanpa telor, tanpa susu dan tanpa terigu ini:
EGGLESS, MILKLESS, GLUTEN-FREE COOKIES
Resep diambil dari http://samayalarai-cookingisdivine.blogspot.com
Bahan:
1 1/2 cup tepung mocaf
1/2 cup butter (saya pake Barco coconut oil dimasukin ke kulkas selama 20-30 menitan)
1/2 cup tepung almond (saya pake ampas bekas bikin almond milk)
1/3 cup gula halus
1/4 sdt garam
1/2 sdt bubuk kayu manis (saya pake spekuk)
1/2 sdt vanila
1/2 sdt baking powder
3/4 sdm air (atau susu almond)
1/2 sdm tepung ubi garut (arrowroot)
1/4 sdt air perasan lemon (atau cuka apel)
3/4 sdt xanthan gum (optional)
Filling: selai rasa apa aja (optional)
Cara membuat:
1. Campur tepung mocaf, tepung almond, garam, xanthan gum, bubuk kayu manis/spekuk, vanila bubuk (kalo pake vanila cair digabungnya sama bahan cair nanti), aduk dengan whisk sampe rata betul
2. Di mangkok agak besar: kocok butter lembek (kalo pake coconut oil jangan sampe cair banget), vanila cair, gula halus, sampe rata betul. Kemudian masukkan bahan-bahan kering di nomor 1
3. Di mangkuk kecil, campurkan baking powder+air+air lemon/cuka apel+tepung garut. Larutan ini akan berbuih, segera campurkan ke adonan tepung. Uleni sampe bisa dibentuk kayak bola (dough ball). Kalo terasa terlalu lengket, taruh sedikit tepung di tangan Anda selama menguleni.
Bagi menjadi 2 dough ball, bungkus dengan plastik cling wrap, masukkan ke kulkas selama 1-2 jam, atau semalaman.
4. Saat akan memanggang, keluarkan dough ball dari kulkas, biarkan di suhu ruangan selama sekitar 20 menit. Gilas setebal kira-kira 3-5 mm, cetak sesuai selera, letakkan di tray yang dialasi kertas roti dan sedikit minyak (saya gak pake minyak tapi gak lengket tuh). Masukkan lagi tray ke kulkas sebentar kalo cookie dough terasa lembek.
5. Panaskan oven 180-200 C, panggang cookie selama 10 menit untuk tiap sisi (jadi dibalik 1x), sebelum cookie berwarna kecoklatan. Dinginkan.
6. Taburi dusting sugar, atau buat sandwich dengan mengoleskan selai di antara 2 cookies.
Gosongnya kukis saya jangan ditiru ya :P
Semoga resep ini bermanfaat...
Jadi, sekitar 4-5 bulan lalu si D dites BIOTEK. Testnya di Jakarta, daerah Pluit. Jadi diambil darah 3 tetes doang dari ujung jari, terus dites makanan-makanan apa yang “menumpuk” di badannya D, yang gak kecerna dengan baik. Makanan-makanan ini sebagian adalah makanan yang harus dihindari, atau harus dirotasi, alias gak boleh dimakan saban hari. Idealnya, satu jenis makanan yang “gak numpuk” di dalam badan, hanya boleh dimakan sekali dalam kurun waktu 4 hari. Dan makanan yang “udah numpuk” alias titernya tinggi di dalam darahnya, kudu dihindari. Ada yang udah tinggi banget titernya, dan kudu dipantang sama sekali selama 6 bulan, baru setelah itu dites ulang untuk liat perkembangannya. Kalo masih tinggi ya kudu dipantangin terus, tapi kalo menurun, berarti makanan tersebut bisa dimakan lagi, dengan dirotasi setiap 4 hari sekali.
Kedengerannya rumit ya? Yah lumayan.
Saya orang yang gak bisa mikirin menu seminggu ke depan. Saya emang gak tiap hari ke pasar, sekali ke pasar saya nyetok daging-dagingan, buat masak A, B, C gitu aja. Gak kepikir bahwa hari senin saya mau masak A sama X, sama Y, hari selasanya saya masak B, W, Z. My brain just doesn’t work that way. Pernah nyoba bikin menu mingguan. Pas nyampe pasar liat bahan-bahan yang bagus dan lagi murah, saya bingung sendiri karena menu yang udah susah payah saya susun jadi kacau balau gara-gara diubah-ubah -.-‘
So, saya ini tipe orang yang hampir tiap hari butuh tukang sayur. Pagi-pagi saya baru mikir hari ini mau masak apa, sesuai stok yang ada di kulkas, yang ngga ada ya saya kudu mendadak beli.
Nah sejak diet rotasi 4 harian ini, saya mau gak mau terpaksa bikin menu, at least buat 4 hari, karena pada hari ke-5 kan udah bisa berulang ya. Hm. Cara yang bagus buat expand my capacity, in terms of daily cooking.
Puyeng?
Engga terlalu puyeng ya?
Tapi simak dulu dong pantangannya:
1. BIG no-no (sama sekali engga boleh, selama 6 bulan):
telur, susu, kedelai (termasuk kecap dan semua yang mengandung kedelai), jagung, udang, tiram, timun, semangka, rebung
2. NO:
terigu/gluten, bawang daun, selada, tomat, kangkung, brokoli, kol, kembang kol, kentang, seledri, wortel, jahe, ragi, talas, stroberi, jeruk, lemon, kiwi, melon, blewah, cumi, lobster, kepiting, labu siam, paprika, dan lain-lain (yang jarang ada di Indo dan hampir gak pernah kami konsumsi juga)
Sekarang udah puyeng? :D
Daging sih cukup banyak yang bisa dimakan: ayam, babi, sapi, ikan, bahkan kodok. Tapi susahnya kalo dalam sehari si D makan 2 macem daging, 2 daging itu baru boleh dimakan lagi 4 hari kemudian, jadi dalam sehari gak boleh terlalu banyak jenis daging yang boleh dimakan. Maka buat memudahkan, saya mencanangkan “hari daging tertentu”: jadi kalo hari ini hari ayam, kita makan daging ayam, sebisanya jangan makan daging lain. Pada hari sapi, kami sebisanya makan sapi aja (plus sayuran atau lauk lain). Dan pada hari2 sapi, saya perhatiin kok sekeluarga pada gak semangat makan. Ternyata kami sekeluarga gak terlalu doyan sapi, sodara-sodara, baru nyadar, hahaha... Akhirnya hari sapi pun ditiadakan :)
Kerjaan saya sehari-hari jadinya mikirin makanaaaaannn melulu. Ngejadualin menu sambil mikir ketersediaan bahannya dan boleh engganya dimakan, nyocokin sama jadual saya sehari-hari (waktu saya gak keburu masak karena ada pertemuan ortu atau sebangsanya, saya jadi kudu masak yang simpel aja), nyocokin jadual anaknya (karena selain 3 meals, saya juga kudu sediain dan masakin cemilannya dan bekalnya ke skul), kudu juga sediain makan siang buat helper part time kami, dan makanan kalo suami bakal makan di rumah. Diri sendiri udah kelaut deh. Gak sanggup lagi mikir -.-‘ Kadang dengan hati puas karena makanan plus cemilan buat D udah aman buat seharian atau buat keesokan harinya, saya gak sadar diri sendiri belom dikasih makan @.@
Dan daripada puas hati karena berhasilnya, lebih banyakan saya bengong ngeliatin “berkas-berkas” saya dengan pikiran nge-blank gak nemu solusi.
Puyeng banget mikirin menu. Kadang udah hepi banget karena berhasil nyusun menu yang masuk akal dan ideal, eh nyampe di pasar bahan-bahan yang saya cari gak ada! Kalo udah gituh, sakitnya tuh di siniiihhhh.... #tunjuk otak.
Rasanya sepanjang hari saya bisa bolak balik ngahuleng alias ngelangut mikirin menu. Rasanya saya jauh lebih banyak mikirin menu daripada mikirin yang lain. Rasanya kaya punya berhala baru *tepokjidat*
Kemudian saya baca Matius 6:25:
Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?
Iya ya.
Dan Matius 6:26:
Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?
Eh bukannya dapet pencerahan, saya malah jadi sirik sama burung-burung dan hewan-hewan. Kok enak ya, makan tinggal makan aja, gak pusing kayak saya?
Suatu ketika, pagi-pagi waktu saya lagi berpusing-pusing ria mikirin menu lagi, saya iseng sambil setel TV. Acaranya seri dokumenter berjudul “Natural Born Hunters”, alias film hewan-hewan gitu. (Ehm, iya saya emang demen nonton dokumenter hewan, kaya anak saya, dan juga kaya papa saya. Yup kami 3 generasi penggemar film hewan, hahaha...)
Anyway, di seri ini, mereka mengulas 3 jenis hewan dalam perjuangan mereka mencari makan dalam sehari itu. Ada cheetah yang berburu berulang-ulang tapi gak kunjung dapet mangsa, ada belalang yang dalam waktu singkat udah berhasil dapet banyak mangsa tapi terus dimangsa oleh hewan lain, dan lain-lain. Ternyata hewan-hewan pun kudu berjuang untuk makan, sering kali bertaruh nyawa dalam usahanya. Ternyata Tuhan memberi hewan-hewan ciptaan-Nya makanan, tapi enggak ditaruh di sarang mereka, kudu dicari dan diusahakan!
Satu-satunya tempat di mana seorang dewasa bisa dapet makanan 3x sehari gratis tanpa usaha atau meminta dalam jangka waktu yang lama adalah: di penjara :P
Setelah 2 bulanan ke mana-mana menggendong catetan menu, akhirnya saya berusaha lebih cuek. Bukan berarti dietnya disingkirin begitu aja (udah bayar berjuta-juta, mubasir juragaaann...), tapi diikutin sebisanya aja dah. Yang daftar BIG no-no sih emang beneran dipantang abis, tapi yang lain-lainnya go with the flow aja :P
Kalo gak ada pilihan yang lebih baik, ya udah lebih baik makan aja apa yang ada daripada gak makan, selama pilihan itu bukan daftar BIG no-no.
Eating healthy is good, but let’s not take it to the extreme. Setuju?
So far, BB saya dan anak saya turun sih *nangis meraung-raung*. So we are at wits end. Masih berusaha nyari balance yang sehat antara menghindari offensive foods sambil tetap feed ourselves.
Menutup posting kali ini, saya mau share resep kukis tanpa telor, tanpa susu dan tanpa terigu ini:
EGGLESS, MILKLESS, GLUTEN-FREE COOKIES
Resep diambil dari http://samayalarai-cookingisdivine.blogspot.com
Bahan:
1 1/2 cup tepung mocaf
1/2 cup butter (saya pake Barco coconut oil dimasukin ke kulkas selama 20-30 menitan)
1/2 cup tepung almond (saya pake ampas bekas bikin almond milk)
1/3 cup gula halus
1/4 sdt garam
1/2 sdt bubuk kayu manis (saya pake spekuk)
1/2 sdt vanila
1/2 sdt baking powder
3/4 sdm air (atau susu almond)
1/2 sdm tepung ubi garut (arrowroot)
1/4 sdt air perasan lemon (atau cuka apel)
3/4 sdt xanthan gum (optional)
Filling: selai rasa apa aja (optional)
Cara membuat:
1. Campur tepung mocaf, tepung almond, garam, xanthan gum, bubuk kayu manis/spekuk, vanila bubuk (kalo pake vanila cair digabungnya sama bahan cair nanti), aduk dengan whisk sampe rata betul
2. Di mangkok agak besar: kocok butter lembek (kalo pake coconut oil jangan sampe cair banget), vanila cair, gula halus, sampe rata betul. Kemudian masukkan bahan-bahan kering di nomor 1
3. Di mangkuk kecil, campurkan baking powder+air+air lemon/cuka apel+tepung garut. Larutan ini akan berbuih, segera campurkan ke adonan tepung. Uleni sampe bisa dibentuk kayak bola (dough ball). Kalo terasa terlalu lengket, taruh sedikit tepung di tangan Anda selama menguleni.
Bagi menjadi 2 dough ball, bungkus dengan plastik cling wrap, masukkan ke kulkas selama 1-2 jam, atau semalaman.
4. Saat akan memanggang, keluarkan dough ball dari kulkas, biarkan di suhu ruangan selama sekitar 20 menit. Gilas setebal kira-kira 3-5 mm, cetak sesuai selera, letakkan di tray yang dialasi kertas roti dan sedikit minyak (saya gak pake minyak tapi gak lengket tuh). Masukkan lagi tray ke kulkas sebentar kalo cookie dough terasa lembek.
5. Panaskan oven 180-200 C, panggang cookie selama 10 menit untuk tiap sisi (jadi dibalik 1x), sebelum cookie berwarna kecoklatan. Dinginkan.
6. Taburi dusting sugar, atau buat sandwich dengan mengoleskan selai di antara 2 cookies.
Semoga resep ini bermanfaat...
Thursday, December 11, 2014
Kisah Origami
Kisah Origami
I have a thing about origami papers.
Di masa kecil saya di tahun 80-90an, kertas origami masih barang langka. Anak-anak Indonesia rata-rata pada main melipat kertas di sekolah, belajar dari temen, dengan cara ngerobekin kertas buku tulis. Anak-anak standar kayak saya bisanya bikin perahu dari kertas persegi panjang (sok ngacung sapa yang gak bisa bikin perahu kertas? Pasti semua bisa ya...), atau kamera dari kertas bujursangkar, atau kodok-kodokan yang bisa ngomong. Beberapa yang lebih yahut bisa bikin kodok yang bisa lompat, atau semacem senjata ninja yang entah apa namanya itu (anak-anak di Jawa jaman baheula nyebutnya “piau”?), dan macem-macem lagi.
Nah, karena anak saya ada beberapa problem khusus, saya sengaja nyariin mainan-mainan yang melatih keterampilannya. Di antaranya ya origami ini. Selain kertasnya sekarang ada buanyaaaak macemnya dari yang warna-warni berglitter, yang mengilap pearly syahdu, kertas emas standar yang warnanya ala-ala Natal gitu, sampe yang bolak balik beda warna (bikin saya selalu kalap kalo beli xixixi...). Dan ternyata anake juga demen.
Jadi pucuk dicinta ulam tiba ^_^ ada alesan kuat buat membenarkan kekalapan saya gitu...
So dari umur sekitar 2 taunan saya suka ajakin si D ngelipet2 origami. Belom bisa lah dia, belom interest juga. Mulai beneran interest waktu umurnya sekitar 4 taunan. Dia mulai bisa melipat ngikutin contoh saya, cuma selain belom rapih (ya iyalah) kelemahannya adalah dia gak tekan di bagian lipatan. Jadi longgar-longgar gitu. Saya gak tau, standarnya umur berapa anak mulai bisa melipat dengan tekanan yang memadai, but kalo si D sih menjelang umur 7 taun ini baru dia bisa menekan lipatan sesuai yang semestinya, dan hasil lipatannya juga mulai lebih rapi.
And surprisingly, asal instruksi gambarnya bener, si D bisa melipat apa aja sampe yang cukup rumit, dengan cara melipat ngikutin instruksi gambar, walopun baru pertama kali! :O
But, buat buibu sekalian, kalo anaknya (atau juga emaknya) gampang frustrasi, saya anjurin supaya bener2 teliti milih buku instruksi origami, soalnya suka ada salah cetak, atau instruksinya kurang jelas, atau emang gak bener, jadi gagal menghasilkan hasil lipatan seperti yang disebutkan di gambar. Kadang2 di dalam kemasan kertas origami udah ada contoh instruksinya, kalo kertasnya kualitasnya cukup baik, instruksi ini biasanya jelas, cukup simpel buat anak, dan gak ngaco2.
Now, apart from jumping in joy for another milestone and skills that my son succeeded mastering, I find that some things remain arduous. Yaitu kecenderungan untuk menyukai sesuatu (aktivitas, makanan, tontonan, tempat, dst) a little too much. Jadi kalo udah demen ngerjain origami, bisa beeerrrrrjam-jam dia kerjain origami.
Lantas, apa masalahnya?
Awalnya sih iya, no problem. Convenient pula, maknyak bisa “aman” selama beberapa waktu. But lama-lama somehow he just can no longer take it, tapi gak nyadar, dan gak bisa berenti.
So, sambil jengkel karena hasil yang tidak sesuai harapannya, dia ngotot ngelanjutin, padahal udah cape dan jenuh tapi gak kerasa dan gak dirasa, makin dilanjut makin gak sesuai harapan, makin upset. Vicious circle. Which mostly ends ugly.
After quite some time, maknyak finally learns her lesson. And developed PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) -.-‘
Maka maknyak pun selalu berusaha bikin D stop whatever he’s doing, at the earliest signs of cape atau jenuh atau bosen dan sebangsanya.
Karena D sendiri gak kerasa (and because of his very strong will power, dan beberapa penyebab lain), dia ogah dong disuruh berenti. Nah nyuruh berenti ini juga starts another line of vicious circle. Which also can end ugly.
So maknyak tinggal pilih aja mau vicious circle yang mana :P
I mostly choose the latter, because at least this circle teaches him to stop before it’s too much for him. In the long run that is. In the very loooonnnggggg run. Kayanya udah hitungan taun deh ngajarin hal ini. We haven’t seen light at the end of the tunnel, but occasionally some little sparks are spotted.
As a “counter judgment” note, please allow me to vent.
Watching these scenes of me going all tooth and nail to make my “finally-doing-something-calm” son stops what he is enjoying doing, which are mostly nice and smart activities, is like watching a freak show. It wouldn’t make sense to you, and believe me, many times the irony strikes myself as nonsense too, mengingat betapa wow-nya akibat yang ditimbulkan selanjutnya.
Maknyak mana yang dengan penuh pengabdian berenti enjoying her precious calm moments, dan tanpa alasan yang jelas maksa bujukin anaknya berenti main mainan yang edukatif dan tenang dan baik, dengan risiko bikin anak mengamuk tak terkendali?
I feel like going crazy sometimes, and many times I’m convinced that I HAVE gone mad, considering the many weirder and weirder stuffs I do and think of @.@
But this is a fierce love of one desperate mom, who longs for her son to survive in this wicked world, by LEARNING WHEN AND HOW TO STOP, no matter how hard his fixation gets.
Please do remember this if you ever encounter some weird mom doing weird things that you can’t comprehend ;)
I have a thing about origami papers.
Di masa kecil saya di tahun 80-90an, kertas origami masih barang langka. Anak-anak Indonesia rata-rata pada main melipat kertas di sekolah, belajar dari temen, dengan cara ngerobekin kertas buku tulis. Anak-anak standar kayak saya bisanya bikin perahu dari kertas persegi panjang (sok ngacung sapa yang gak bisa bikin perahu kertas? Pasti semua bisa ya...), atau kamera dari kertas bujursangkar, atau kodok-kodokan yang bisa ngomong. Beberapa yang lebih yahut bisa bikin kodok yang bisa lompat, atau semacem senjata ninja yang entah apa namanya itu (anak-anak di Jawa jaman baheula nyebutnya “piau”?), dan macem-macem lagi.
Nah, karena anak saya ada beberapa problem khusus, saya sengaja nyariin mainan-mainan yang melatih keterampilannya. Di antaranya ya origami ini. Selain kertasnya sekarang ada buanyaaaak macemnya dari yang warna-warni berglitter, yang mengilap pearly syahdu, kertas emas standar yang warnanya ala-ala Natal gitu, sampe yang bolak balik beda warna (bikin saya selalu kalap kalo beli xixixi...). Dan ternyata anake juga demen.
Jadi pucuk dicinta ulam tiba ^_^ ada alesan kuat buat membenarkan kekalapan saya gitu...
So dari umur sekitar 2 taunan saya suka ajakin si D ngelipet2 origami. Belom bisa lah dia, belom interest juga. Mulai beneran interest waktu umurnya sekitar 4 taunan. Dia mulai bisa melipat ngikutin contoh saya, cuma selain belom rapih (ya iyalah) kelemahannya adalah dia gak tekan di bagian lipatan. Jadi longgar-longgar gitu. Saya gak tau, standarnya umur berapa anak mulai bisa melipat dengan tekanan yang memadai, but kalo si D sih menjelang umur 7 taun ini baru dia bisa menekan lipatan sesuai yang semestinya, dan hasil lipatannya juga mulai lebih rapi.
And surprisingly, asal instruksi gambarnya bener, si D bisa melipat apa aja sampe yang cukup rumit, dengan cara melipat ngikutin instruksi gambar, walopun baru pertama kali! :O
But, buat buibu sekalian, kalo anaknya (atau juga emaknya) gampang frustrasi, saya anjurin supaya bener2 teliti milih buku instruksi origami, soalnya suka ada salah cetak, atau instruksinya kurang jelas, atau emang gak bener, jadi gagal menghasilkan hasil lipatan seperti yang disebutkan di gambar. Kadang2 di dalam kemasan kertas origami udah ada contoh instruksinya, kalo kertasnya kualitasnya cukup baik, instruksi ini biasanya jelas, cukup simpel buat anak, dan gak ngaco2.
Now, apart from jumping in joy for another milestone and skills that my son succeeded mastering, I find that some things remain arduous. Yaitu kecenderungan untuk menyukai sesuatu (aktivitas, makanan, tontonan, tempat, dst) a little too much. Jadi kalo udah demen ngerjain origami, bisa beeerrrrrjam-jam dia kerjain origami.
Lantas, apa masalahnya?
Awalnya sih iya, no problem. Convenient pula, maknyak bisa “aman” selama beberapa waktu. But lama-lama somehow he just can no longer take it, tapi gak nyadar, dan gak bisa berenti.
So, sambil jengkel karena hasil yang tidak sesuai harapannya, dia ngotot ngelanjutin, padahal udah cape dan jenuh tapi gak kerasa dan gak dirasa, makin dilanjut makin gak sesuai harapan, makin upset. Vicious circle. Which mostly ends ugly.
After quite some time, maknyak finally learns her lesson. And developed PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) -.-‘
Maka maknyak pun selalu berusaha bikin D stop whatever he’s doing, at the earliest signs of cape atau jenuh atau bosen dan sebangsanya.
Karena D sendiri gak kerasa (and because of his very strong will power, dan beberapa penyebab lain), dia ogah dong disuruh berenti. Nah nyuruh berenti ini juga starts another line of vicious circle. Which also can end ugly.
So maknyak tinggal pilih aja mau vicious circle yang mana :P
I mostly choose the latter, because at least this circle teaches him to stop before it’s too much for him. In the long run that is. In the very loooonnnggggg run. Kayanya udah hitungan taun deh ngajarin hal ini. We haven’t seen light at the end of the tunnel, but occasionally some little sparks are spotted.
As a “counter judgment” note, please allow me to vent.
Watching these scenes of me going all tooth and nail to make my “finally-doing-something-calm” son stops what he is enjoying doing, which are mostly nice and smart activities, is like watching a freak show. It wouldn’t make sense to you, and believe me, many times the irony strikes myself as nonsense too, mengingat betapa wow-nya akibat yang ditimbulkan selanjutnya.
Maknyak mana yang dengan penuh pengabdian berenti enjoying her precious calm moments, dan tanpa alasan yang jelas maksa bujukin anaknya berenti main mainan yang edukatif dan tenang dan baik, dengan risiko bikin anak mengamuk tak terkendali?
I feel like going crazy sometimes, and many times I’m convinced that I HAVE gone mad, considering the many weirder and weirder stuffs I do and think of @.@
But this is a fierce love of one desperate mom, who longs for her son to survive in this wicked world, by LEARNING WHEN AND HOW TO STOP, no matter how hard his fixation gets.
Please do remember this if you ever encounter some weird mom doing weird things that you can’t comprehend ;)
Subscribe to:
Posts (Atom)