Thursday, December 11, 2014

Kisah Origami

Kisah Origami

I have a thing about origami papers.
Di masa kecil saya di tahun 80-90an, kertas origami masih barang langka. Anak-anak Indonesia rata-rata pada main melipat kertas di sekolah, belajar dari temen, dengan cara ngerobekin kertas buku tulis. Anak-anak standar kayak saya bisanya bikin perahu dari kertas persegi panjang (sok ngacung sapa yang gak bisa bikin perahu kertas? Pasti semua bisa ya...), atau kamera dari kertas bujursangkar, atau kodok-kodokan yang bisa ngomong. Beberapa yang lebih yahut bisa bikin kodok yang bisa lompat, atau semacem senjata ninja yang entah apa namanya itu (anak-anak di Jawa jaman baheula nyebutnya “piau”?), dan macem-macem lagi.

Nah, karena anak saya ada beberapa problem khusus, saya sengaja nyariin mainan-mainan yang melatih keterampilannya. Di antaranya ya origami ini. Selain kertasnya sekarang ada buanyaaaak macemnya dari yang warna-warni berglitter, yang mengilap pearly syahdu, kertas emas standar yang warnanya ala-ala Natal gitu, sampe yang bolak balik beda warna (bikin saya selalu kalap kalo beli xixixi...). Dan ternyata anake juga demen.
Jadi pucuk dicinta ulam tiba ^_^ ada alesan kuat buat membenarkan kekalapan saya gitu...

So dari umur sekitar 2 taunan saya suka ajakin si D ngelipet2 origami. Belom bisa lah dia, belom interest juga. Mulai beneran interest waktu umurnya sekitar 4 taunan. Dia mulai bisa melipat ngikutin contoh saya, cuma selain belom rapih (ya iyalah) kelemahannya adalah dia gak tekan di bagian lipatan. Jadi longgar-longgar gitu. Saya gak tau, standarnya umur berapa anak mulai bisa melipat dengan tekanan yang memadai, but kalo si D sih menjelang umur 7 taun ini baru dia bisa menekan lipatan sesuai yang semestinya, dan hasil lipatannya juga mulai lebih rapi.
And surprisingly, asal instruksi gambarnya bener, si D bisa melipat apa aja sampe yang cukup rumit, dengan cara melipat ngikutin instruksi gambar, walopun baru pertama kali! :O
But, buat buibu sekalian, kalo anaknya (atau juga emaknya) gampang frustrasi, saya anjurin supaya bener2 teliti milih buku instruksi origami, soalnya suka ada salah cetak, atau instruksinya kurang jelas, atau emang gak bener, jadi gagal menghasilkan hasil lipatan seperti yang disebutkan di gambar. Kadang2 di dalam kemasan kertas origami udah ada contoh instruksinya, kalo kertasnya kualitasnya cukup baik, instruksi ini biasanya jelas, cukup simpel buat anak, dan gak ngaco2.

Now, apart from jumping in joy for another milestone and skills that my son succeeded mastering, I find that some things remain arduous.  Yaitu kecenderungan untuk menyukai sesuatu (aktivitas, makanan, tontonan, tempat, dst) a little too much.  Jadi kalo udah demen ngerjain origami, bisa beeerrrrrjam-jam dia kerjain origami.
Lantas, apa masalahnya?
Awalnya sih iya, no problem. Convenient pula, maknyak bisa “aman” selama beberapa waktu. But lama-lama somehow he just can no longer take it, tapi gak nyadar, dan gak bisa berenti.
So, sambil jengkel karena hasil yang tidak sesuai harapannya, dia ngotot ngelanjutin, padahal udah cape dan jenuh tapi gak kerasa dan gak dirasa, makin dilanjut makin gak sesuai harapan, makin upset. Vicious circle. Which mostly ends ugly.

After quite some time, maknyak finally learns her lesson. And developed PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) -.-‘
Maka maknyak pun selalu berusaha bikin D stop whatever he’s doing, at the earliest signs of cape atau jenuh atau bosen dan sebangsanya.
Karena D sendiri gak kerasa (and because of his very strong will power, dan beberapa penyebab lain), dia ogah dong disuruh berenti. Nah nyuruh berenti ini juga starts another line of vicious circle. Which also can end ugly.
So maknyak tinggal pilih aja mau vicious circle yang mana :P
I mostly choose the latter, because at least this circle teaches him to stop before it’s too much for him. In the long run that is. In the very loooonnnggggg run. Kayanya udah hitungan taun deh ngajarin hal ini. We haven’t seen light at the end of the tunnel, but occasionally some little sparks are spotted.

As a “counter judgment” note, please allow me to vent.
Watching these scenes of me going all tooth and nail to make my “finally-doing-something-calm” son stops what he is enjoying doing, which are mostly nice and smart activities, is like watching a freak show. It wouldn’t make sense to you, and believe me, many times the irony strikes myself as nonsense too, mengingat betapa wow-nya akibat yang ditimbulkan selanjutnya.
Maknyak mana yang dengan penuh pengabdian berenti enjoying her precious calm moments, dan tanpa alasan yang jelas maksa bujukin anaknya berenti main mainan yang edukatif dan tenang dan baik, dengan risiko bikin anak mengamuk tak terkendali?
I feel like going crazy sometimes, and many times I’m convinced that I HAVE gone mad, considering the many weirder and weirder stuffs I do and think of @.@

But this is a fierce love of one desperate mom, who longs for her son to survive in this wicked world, by LEARNING WHEN AND HOW TO STOP, no matter how hard his fixation gets. 

Please do remember this if you ever encounter some weird mom doing weird things that you can’t comprehend ;)

1 comment:

  1. Totally agree. You're helping him the best way you can and knowing when and how to stop would be VERY VERY beneficial for him in the long run, especially in this world that becomes even more overwhelming as time goes by. More online accounts/activities, more options/lures to connect...you've got to know when to disconnect sometimes. So keep up the brilliant/maddening work! I salute you for helping him to set boundaries! Boundaries are very very important.

    ReplyDelete

Ayooo silakan berkomentar.... :)