Monday, January 11, 2016

Diagnosis dan Apa yang harus Dilakukan?


Hellow pemirsah...

Kali ini mau ngomongin tentang diagnosis ya, dan harus gimana kalo anak kita didiagnosis berkebutuhan khusus.

Waktu pertama kali anak saya didiagnosis ADHD, duh perasaan campur aduk antara bingung, gak percaya, cemas, gak berdaya, juga lega karena akhirnya ada jawaban untuk beberapa isu yang sekian lama bikin saya dan suami bertanya-tanya.

But, next comes this big question:

NOW WHAT?
Sekarang, apa yang harus dilakukan?

Buat para ortu yang tinggal di kota besar dengan fasilitas memadai sih lumayan enak ya, ada banyak pilihan penanganan dan banyak ahli. Buat yang tinggal di pelosok itu yang susah. Tapi baik tinggal di kota maupun di pelosok, sama aja sih bingungnya, bingung badaaaiiii... plus perasaan yang masih campur aduk labil. Terkadang kita cuma bisa memandangi anak dengan pandangan kosong dan perasaan galau sampe lamaaa...
Yeah, I feel you, Mommies, I’ve been there....
Makanya saya pengen bantu para ortu yang ngalamin apa yang saya alamin dulu, biar gak kebingungan amat.

Diagnosis ini bisa berupa apa aja, dari mulai spektrum autis (termasuk di dalamnya PDD NOS, Asperger, Autism Spectrum Disorder), SPD (Sensory Processing Disorder), AD(H)D (Attention Deficit (Hyperactivity) Disorder), Dyslexia, Learning Disorder, sampe diagnosis-diagnosis yang kurang jelas semacam “hypo-reactive” atau “hyper-reactive”, atau yang ringan-ringan aja, semacem Speech Delay (keterlambatan bicara), atau delay-delay yang lain (Developmental Delay, Coordination Disorder atau gangguan koordinasi), atau bahkan anak-anak yang kelewat pinter (Gifted misalnya), dan banyak lagi yang lain.
Semua isu ini berbeda-beda tantangannya dan tingkat kesulitan penanganannya, tapi pertanyaan awalnya sama aja:

“Jadi sekarang gimaaanaaaa???”

1.  CARI INFORMASI sebanyak-banyaknya. EDUCATE yourself about your child’s specific issue.
Pelajari sebanyak mungkin tentang kondisi anak Anda, dan kondisi2 lain yang mepet2 atau mirip2 sama kondisi anak Anda.

Nah cari informasi ini mula-mula bakal bikin kita tambah mabok bin puyeng. Makin bingung dan simpang siur di otak. Tapi emang harus begitu, kebanyakan info lebih baik daripada gak tau apa-apa. Ntar lama-lama pengetahuan ini bakal mengendap dan gak terlalu membingungkan lagi.

2. SEGERA jalankan program yang disarankan, misalnya TERAPI atau DIET.
Biasanya psikolog atau dokter atau terapis yang pertama mendiagnosis bakal ngasih saran juga apa2 yang harus dikerjakan sekarang.
Hati-hati ya, zaman sekarang namanya tempat terapi atau terapis udah tersebar di mana-mana, banyak banget yang abal-abal. Makanya kudu cari informasi sebanyak2nya. Tempat terapi yang ideal di ruangan-ruangan terapinya ada jendela di mana kita ortu bisa “ngintip” atau dipasang CCTV sehingga kita tau apa yang dilakukan di dalam. Ini buat keamanan anak kita juga ya, dari pelecehan atau sejenisnya (zaman sekarang, kita ortu emang kudu ekstra hati-hati).

Biasanya diagnosis semacam ASD, PDD NOS, atau ADHD dan sejenisnya ditegakkan oleh dokter spesialis (neuro-pediatri atau spesialis saraf anak, psikiater anak, atau dokter spesialis anak yang punya kecakapan khusus dalam hal tumbuh kembang atau anak berkebutuhan khusus (ABK), atau bisa juga ditegakkan oleh psikolog yang berpengalaman. Terapis yang baik bisa dengan mudah mengenali banyak ABK, dan bakal merujuk anak untuk dievaluasi oleh dokter atau psikolog, terutama buat diagnosis yang saya sebutkan tadi. Kalo diagnosis yang “ringan” semacam keterlambatan perkembangan motorik aja sih mungkin bisa langsung diterapi, tapi ada baiknya semua gangguan tumbuh kembang dievaluasi dulu seteliti mungkin, untuk memastikan itu bukan tanda adanya gangguan yang lebih serius, jangan sampe kecolongan.

Nah, terapi atau diet yang baru dimulai ini tentunya gak bisa langsung ideal.
Gak papa, mulai aja dulu sebisanya, sambil jalan, seiring dengan bertambahnya pengalaman dan pengetahuan kita, kita terapkan penanganan yang lebih terpadu.
Kita harus mulai segera, karena anak punya GOLDEN PERIODE, yaitu 3 tahun pertama kehidupan. Khususnya buat ASD, 3 taun pertama ini amat sangat penting buat mulai diet (sebelum anak kenal makanan-makanan enak :P) dan terapi (lebih gampang membentuk pola pikir, dan jaras-jaras motorik/sensorik seperti yang seharusnya). Daripada bengong galau gak melakukan apa-apa karena kebanyakan nyari info, lebih baik “do what you can and do it now”!

WARNING:
Jangan pernah bawa anak ke psikiater umum yang ngga ngerti tentang ABK atau tumbuh kembang anak. Saya udah banyak banget denger psikiater2 yang langsung ngasih obat (haloperidol!!) buat ABK tanpa menegakkan diagnosis dulu atau bahkan tanpa bener2 tau diagnosisnya apa. Sangat disayangkan banyak sekali SpKJ di Indonesia yang kurang berminat tentang gangguan tumbuh kembang anak. Jadi kalo mau konsultasi ke psikiater, pastikan dulu psikiater itu mendalami bidang yang pas dengan kebutuhan anak Anda. Saya mohon maaf kalo kata-kata saya kurang berkenan, tapi ini kenyataan. Saya gak anti SpKJ, malah saya pernah konsultasi ke seorang SpKJ dengan pendidikan subspesialis pediatric psychiatrist yang mendalami ADHD, sampai bergelar PhD. Supaya saya gak endorse di sini, yang butuh info ini boleh tanya lewat email ya.

3. Kalo ada keraguan, segera cari SECOND OPINION.
Misalnya gak sreg dengan diagnosis psikolog A, coba evaluasi ke dokter B, tentunya cari info dulu ya, ahli yang mana yang mumpuni untuk kasusnya anak Anda secara spesifik.
Dari tadi disuruh cari info, carinya di mana? Jawabannya di poin nomer 4.

Nah, dari 2x evaluasi, mungkin aja kita dapat diagnosis yang sama sekali berbeda. Kalo ada waktu dan duit lebih, silakan cari third opinion. Tapi menurut hemat saya, kita sebagai ortu lah yang paling ngerti kondisi anak kita, jadi sebenernya kita bisa mengira-ngira sendiri pendapat mana yang lebih tepat buat anak kita.

4. Cari KOMUNITAS.
Sesama ortu/pengantar anak di tempat terapi bisa jadi komunitas, terutama kalo tempat terapi itu udah punya semacam “klub” ortu. Mereka bisa jadi sumber informasi tentang banyak hal yang kita perlu tau. Tapi, pengalaman saya 5 taun mondar mandir ke tempat terapi, cuma nemu 1-2 orang buat teman ngobrol selama nunggu si D terapi, gak bener-bener dapet komunitas.
Saya cari komunitas, sampe pernah berniat BIKIN komunitas sendiri tapi terkendala gak ada anggotanya hahaha... (saking sedikitnya ortu ABK yang saya kenal dan bisa diajak sharing)
Akhirnya saya follow beberapa grup lokal dan internasional di FB, yah lumayan buat sekedar memperluas wawasan.

Baru beberapa minggu yang lalu saya nemu 1 komunitas di FB, diinvite temen yang juga baru aja saya kenal di FB (big thanks, mama Ethan ;)).
Dengan adanya komunitas yang jelas, pengetahuan langsung maju pesat sekali. Cari info juga gampang banget. Satu catatan penting, umumnya 1 grup komunitas punya filosofinya sendiri :) Maksudnya, dalam dunia ABK, ada bermacam2 aliran, baik itu aliran diagnosis, terapi, atau penanganan. Ada yang berpendapat hanya dokter yang berhak menegakkan diagnosis, ada yang berpendapat terapi tidak seefektif pemberian obat-obatan, ada yang berpendapat diet bisa menyembuhkan autis, ada juga yang berpendapat diet tidak berpengaruh apa-apa.

Nah bingung lagi ya...

Menurut pengalaman, pengamatan, dan pendapat saya pribadi, tiap ABK kasusnya berbeda-beda. Sebagian besar memang punya masalah alergi atau gangguan metabolisme sistem pencernaan (maka HARUS diet), tapi ada juga yang udah diet maksimal tanpa banyak kemajuan berarti, ternyata masalahnya ada di sistem neurotransmitter di otak/sistem saraf sehingga perlu diberikan obat, dan seterusnya.
Sebagian besar kasus memang rumit, semua faktor dari mulai genetik, alergi, toksin dari lingkungan, metabolisme dan gangguan perkembangan saraf saling tumpang tindih, makanya umumnya butuh penanganan yang holistik alias menyeluruh, yaitu dengan diet, terapi, dan kadang-kadang obat.

Secara garis besar sih umumnya langkah yang pertama tetap dengan diet dan terapi, lalu sambil jalan dievaluasi perkembangannya.

5.  Dukungan keluarga.
Umumnya sih suami-istri udah otomatis kerjasama ya. Tapi ada juga yang suami atau istri atau keluarga besarnya gak mendukung, bahkan gak percaya bahwa si anak “bermasalah”.
Menerima diagnosis ABK memang tidak mudah, tapi harus diusahakan sampe POL supaya suami-istri sepaham dulu. Kalo nggak sepaham gimana mau nolong anaknya?
Setelah suami-istri kompak, baru bisa sama-sama menghadapi keluarga besar yang skeptis.
Kalo keluarga besar pikirannya terbuka, silakan coba beri penjelasan, tapi kalo keluarga besar pikirannya “cupet” (sorry to say), ga usah buang2 energi lah. Tutup kuping dan maju terus aja, demi anak kita. Cari cara supaya diet tetap bisa jalan (ini yang paling susah dalam hal berurusan dengan keluarga besar).

Keluarga kami juga butuh waktu bertahun-tahun sampe bisa menerima keistimewaan anak saya. Awalnya kami dianggap berlebihan karena anaknya “tidak apa2”.  Kalo ngalami begitu ya sudah ditelan saja bulat-bulat judgment demi judgement dan kritik tentang pola asuh yang kami terapkan :)  Anggap saja bagian dari paket sepesial yang datang bersama dengan ABK kita. Parenting is tough, parenting one with special needs is T.O.U.G.H.E.R.
Ingat bahwa kasih karunia Tuhan selalu CUKUP, jadi tetap semangat dan berusaha untuk ambil sikap hati yang benar ya...
Sekarang keluarga besar kami sudah terbiasa dengan “keanehan” kami, dan membiarkan kami menyensor makanan atau mainan atau apa aja yang boleh atau tidak boleh. Kami juga belajar untuk menghargai niat baik dari orang lain, meskipun terkadang niat baik itu jadi bumerang :P

Buat para suami (istri juga, tapi kebanyakan bapak2 nih yang suka denial dengan kondisi anak ABKnya), butuh hati yang tegar dan tangguh buat menerima kondisi anak kita yang berkebutuhan khusus. So, MAN UP!  Your child needs you, your wife needs you.
Kalo gak percaya diagnosisnya, silakan cari 2nd opinion, tapi jangan sampe kebablasan nyari terus dan kebingungan sendiri sama diagnosis2 yang didapat, dan ujung2nya lupa BERTINDAK.

Anak kita tidak pernah memilih untuk jadi ABK, kalo bisa milih tentunya dia juga ingin jadi anak yang seperti harapan orangtuanya. Tuhan udah pilih keluarga kita buat ngasuh anak ini, maka Dia juga yang bakal bukakan jalan supaya kita sanggup menjalaninya.

Kalo kita udah berusaha, trus kita lihat anak-anak lain kok majunya lebih pesat, dll, jangan putus asa ya. Pengalaman orang lain memang baik buat referensi, buat penambah semangat dan inspirasi untuk kita usaha, tapi jangan dibikin jadi tolok ukur.
Tiap manusia punya perjalanan hidupnya masing-masing, demikian juga seorang ABK.
Ada yang berhasil sampai hidup mandiri, ada yang butuh dukungan khusus seumur hidupnya.
Itu “jatah”-nya masing-masing orang, yang udah Tuhan atur.
Jalan hidup seseorang, saya percaya adalah prerogatifnya Tuhan.
Bagian kita orangtua adalah berusaha membesarkan anak kita sebaik mungkin, hasil akhirnya gimana, itu bagiannya Tuhan.
Percaya saja, let go and let God.
Berdoa dan percayalah bahwa Dia bakal memelihara ABK kita di sepanjang jalan hidupnya.

Next saya akan share lebih detail tentang seluk beluk diet. See you!

1 comment:

  1. Hiiii.
    Salam kenal, saya Nana.
    Seneng deh nemu tulisan disini bikin semangat.
    Boleh taukah nama komunitas di FB soal ABK?
    Anak saya - umur 5 dapet Diagnosa baru kalo dia Autistic ringan. Sebelomnya diagnosanya SPD.
    Dan pengen banget tau lebih banyak soal ini.
    Thanks a lot yaa

    ReplyDelete

Ayooo silakan berkomentar.... :)