Thursday, May 30, 2013

Waiting for His Heart, Part 1 (Link dan terjemahan)

Hari ini saya mau ngasih link ke salah satu website favorit saya buat dengerin acara radio Kristen (yah kayak kotbah atau pembahasan gitu sih) yaitu www.reviveourhearts.com

Saya mau kasih link ke seri yang judulnya Waiting for His Heart. Seri ini terdiri dari 3 bagian. Isinya tentang seorang wanita bernama Joy McClain selama pergumulannya dalam pernikahan yang sangat sulit, karena suaminya terjerat alkoholisme, alias hobi minum dan mabuk-mabukan. Awalnya cuma sekedar minum2 sosial aja (sekali2, di acara2 doang), lama-lama sampe kecanduan dan mulai jadi abusive. Ikutin cerita jatuh bangunnya dan suami dan anak-anaknya, sampe akhirnya Tuhan menangin mereka semua dan memulihkan keluarganya.

Mungkin ada pembaca yang ga seneng dengerin en lebih seneng baca teksnya aja karena ini IN ENGLISH, bisa buka aja link-nya karena di bawahnya itu ada script-nya, jadi di situ tertulis semua-muanya yang diomongin sama Nancy Leigh deMoss dan para narasumber yang diundang ke siaran. Script-nya ini juga dlm bahasa Inggris.
Buat memudahkan, saya udah terjemahin teks bagian pertamanya nih, buat pembaca yang butuh baca dalam bahasa Indonesia. Don't worry, saya udah email ke mereka utk minta izin, dan mereka udah kasih lampu hijau. Bless them! :D

Kalo mau dengerin sendiri langsung ini link ke Part One dari 3 bagian seri tersebut. Sekedar info, gedenya file mp3 ini kalo didownload sekitar 11 MB, lamanya sekitar 25 menitan. Semoga part 2 and 3 bisa saya lanjutin ya (someday :P), karena ini part 2 aja belom kelar2, udah ketunda-tunda sampe berminggu-minggu >_<

Ini dia silakan dibaca...




Ini adalah Revive Our Hearts dengan Nancy Leigh DeMoss, hari Rabu 24 April 2013.

Nancy Leigh DeMoss: Yah seperti yang mungkin sudah Anda bayangkan, di Revive Our Hearts kami selalu menerima email, surat, dan telepon dari para wanita yang sedang berada dalam pernikahan yang sangat sulit. Sering kali, suara dari orang-orang di sekeliling mereka menyuruh mereka untuk melangkah maju, bahwa tidak ada alasan untuk bertahan dalam sebuah pernikahan yang sedemikian sulit. Ternyata banyak di antara para wanita ini yang sungguh-sungguh ingin menghormati Tuhan dan tetap setia kepada ikrar pernikahan mereka, tetapi terkadang hal ini tampaknya begitu sulit.

Beberapa tahun yang lalu, seorang wanita bernama Joy McClain menulis surat kepada Revive Our Hearts, dan dia sedang berada di dalam situasi yang seperti itu. Dia berkomitmen kepada pernikahannya dan ingin terus berkomitmen meskipun selama bertahun-tahun suaminya terbelenggu dalam dosa kecanduan.

Tuhan memakai Revive Our Hearts untuk menyemangati Joy selama bertahun-tahun, tetapi setiap hari muncul banyak pertanyaan: Bagaimana saya mengatasi situasi ini? Bagaimana Tuhan akan mencukupkan kebutuhan saya? Apakah suami saya akan berubah? Apakah saya memang harus bertahan dalam pernikahan ini?

Saya masih ingat ketika Joy pertama kali mendatangi saya setelah sesuatu terjadi dan dia menceritakan sedikit kisahnya kepada saya. Ada sukacita yang luar biasa dalam beberapa tahun berikutnya ketika saya menyaksikan sendiri bagaimana Tuhan bekerja dalam hati wanita ini dan juga membuat mujizat dalam hati suaminya.

Saya mendorong Joy untuk membagikan kisahnya, tentu saja dengan seizin suaminya, dan kami menyaksikan bagaimana Tuhan menggunakan apa yang pernah dialami Joy untuk menyemangati para wanita lain untuk berjuang demi pernikahan mereka, meskipun tampaknya tidak ada harapan lagi.

Joy menulis buku yang berjudul, Waiting for His Heart: Lessons from a Wife Who Chose to Stay. (Menantikan Hatinya: Pelajaran dari seorang Isteri yang Memilih untuk Bertahan). Saya akan memberitahu cara mendapatkan buku ini setelah kita mendengarkan bagian pertama dari kisah Joy.

Sekarang Anda mungkin mempunyai anak atau cucu atau sahabat yang pernikahannya sedang sangat sulit, dan saya rasa Anda akan merasa bahwa kisah ini sangat menguatkan. Jika Anda berada dalam situasi di mana Anda merasa tidak ada harapan lagi bagi pernikahan Anda, saya harap Anda akan mendengarkan siaran ini selama beberapa hari ke depan, sambil memohon agar Tuhan tidak hanya mengubah hati suami Anda, tetapi agar Anda juga dapat berkata, “Tuhan, maukah Engkau menggunakan kesulitan ini untuk membawaku lebih dekat kepadaMu?”

Sekarang, mari kita dengarkan kisah Joy.

Joy: Waktu saya berkencan dengan Mark, usianya setahun lebih tua dari saya, dan ada sesuatu tentang Mark yang menarik saya, maka kami pun mulai berkencan. Saya dibesarkan di dalam keluarga yang sangat kokoh, sangat tenang. Keluarga kami dibangun di sekitar gereja dan keluarga, tetapi ketika saya berusia 16 tahun, Tuhan tidak lagi saya utamakan.

Kehidupan sosial saya menjadi jauh lebih penting daripada hubungan saya dengan Tuhan. Dan ini tampak jelas dari pasangan saya yaitu Mark yang mengaku mengenal Tuhan tetapi banyak meragukan-Nya. Saya tidak tahu apakah Mark sudah diselamatkan, dan saat itu saya tidak yakin bahwa itu penting buat saya.

Kami menikah di bulan Mei. Sebelum kami menikah, Mark menyewa sebuah rumah kecil. Rumah itu berada di pedesaan. Letaknya di atas bukit kecil, dan dari jendela dapur Anda dapat melihat gudang di peternakan ayah saya, sungguh keren. Kami menanami kebun sebelum kami resmi menikah, maka di rumah itulah kami menanami kebun kami.

Saya ingat dulu saya berpikir alangkah baiknya kami menanam benih-benih janji yang akan tumbuh dan menjadi seperti cinta kami. Sangat ideal, sangat romantis. Ini adalah ekspektasi yang hampir tidak realistis tentang pernikahan yang sesungguhnya, apa yang bisa dan akan terjadi. Jadi ketika kami menanami kebun kami, saya berpikir, Oh, ini bakalan hebat sekali. Semuanya akan sempurna, dan hijau dan tumbuh dan subur. Tapi berkebun tidak selalu demikian, dan kenyataan hidup tidak selalu demikian.

Sesaat sebelum pernikahan saya di bulan Mei, saya dan ibu saya bersama-sama menjemur pakaian. Saya bersama-sama dengan ibu saya, dan ketika dia selesai, dia mendaki bukit tempat saya duduk dan berkata, “Akan ada waktunya dalam pernikahan di mana kamu merasa ingin pergi meninggalkan semuanya.”

Saya kira itu sangat aneh. Pertama: Dalam pandangan saya, orangtua saya memiliki pernikahan yang begitu kokoh, baik, dan ilahi. Kedua: Saya berpikir, Itu tidak akan pernah terjadi, Ma. Karena saya sangat mencintai Mark, dan saya tahu semuanya akan baik dan benar. Saya tidak pernah berpikir akan datang saat di mana saya dengan senang hati bersedia pergi meninggalkan semuanya.

Pernikahan kami dilaksanakan di bulan Mei. Itu adalah hari musim semi yang indah, dan saya sangat senang. Saya tidak sabar ingin menjadi isterinya. Saya adalah orang pertama yang tiba di gereja. Saya duduk di tangga sebentar. Saya selalu suka menulis jurnal. Saya adalah seorang penulis, dan saya ingat hari itu saya menuliskan tentang pernikahan saya dan betapa senangnya saya. Saya benar-benar tidak sabar ingin berjalan menuju ke altar dan mengucapkan janji pernikahan saya.

Ketika saya mengucapkan janji saya, saya bersungguh-sungguh. Ikrar itu adalah hal yang sangat penting bagi saya dan saya akan menghormatinya apa pun yang terjadi. Malam itu saya menulis dalam jurnal saya kata-kata yang maknanya akan sangat mendalam di kemudian hari, karena saya berkata, “Hari ini saya berjanji untuk mencintai dan menghormati suami saya, dan memang itulah yang akan saya lakukan apa pun yang terjadi.”

Kalau saja saya tahu seperti apakah “apa pun yang terjadi” itu, tentunya saya akan bertanya-tanya bagaimana saya akan melaluinya, tetapi waktu itu saya bersungguh-sungguh. Tuhan akan menguji ikrar itu dengan cara-cara yang tidak dapat saya bayangkan, tetapi semuanya itu adalah untuk maksud dan kemuliaan-Nya.

Sejak awal saya tahu Mark suka minum, tetapi bukan dalam jumlah yang mengkhawatirkan, lebih kepada minum hanya untuk bersosialisasi.  Ketika kami menikah, hal ini tidak benar-benar mengganggu saya. Saya tidak melihat tanda-tanda bahaya tentang kebiasaannya itu. Ketika putra pertama kami lahir, saya sadar bahwa saya tidak ingin anak saya tumbuh di lingkungan di mana alkohol dikonsumsi di dalam rumah.

Maka setelah anak kami lahir, saya mulai benar-benar memikirkan bahwa kebiasaan Mark minum-minum adalah hal yang tidak baik, dan saya mulai mempertanyakannya. Saya mulai bertanya, “Mungkin ini bukan ide yang baik?” Mark menjadi marah tentang hal ini.

Mark: Mengapa kamu bertanya begitu? Mengapa kamu menentang apa yang saya lakukan? Joy berkata, “Saya berhak melakukan ini.”

Joy: Di matanya, saya terlalu mengontrol. Di matanya, saya mengatur-ngatur dia.

Mark: Saya berhak melakukan apa yang saya mau. Mengapa saya tidak bisa melakukan ini? Ini yang saya mau, dan saya tidak menyakiti siapa pun.

Joy: Mungkin, kalau saya menyimak kata-kata saya, saya tidak yakin motif saya murni karena seringnya motif saya memang tidak murni. Motif saya adalah, “Kamu harus berubah supaya saya bahagia.”

Mark: Berhala saya adalah alkohol. Kita semua punya berhala.

Joy: Ekspektasi saya tentang pernikahan dan suami saya benar-benar menjadi seperti berhala saya karena saya berpikir bahwa suami saya seharusnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan saya dan membuat saya bahagia. Seharusnya suami saya memenuhi keinginan saya dan memuaskan hasrat saya. Dan tidak ada pria yang diciptakan untuk melakukan itu. Bukan itu rencana Tuhan.

Saat itu saya belum paham. Saya memandang suami saya sebagai pria yang saya cintai. Saya sudah mencurahkan segalanya yang saya bisa bagi dia. Saya ingin hal yang sama dicurahkannya kepada saya dalam hubungan kami, dan dia tidak mampu memenuhi kebutuhan itu, terutama ketika dia mulai minum lebih banyak dan mulai menarik diri. Dia tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan saya itu, dan saya jelas membuat pernikahan saya –pernikahan yang ilahi- menjadi berhala saya.

Mark benar-benar mulai memburuk. Kebiasaan minumnya bukan hanya sekali-sekali saja. Dia tidak hanya minum pada saat weekend. Minum mulai menjadi rutinitas hariannya. Sejak saat dia pulang bekerja sampai dia pingsan atau tertidur di malam hari. Dia mulai menarik diri. Dia makin jarang makan bersama kami. Dia sangat jarang makan bersama kami. Dia makin jarang menghabiskan waktu bersama anak-anak.

Jordan: Ibu saya mencoba semuanya yang bisa dia lakukan –dengan putus asa- untuk melindungi kami dari semuanya itu.

Leslie: Ini adalah Jordan, putra sulung keluarga McClain.

Jordan: Mungkin saya mulai menyadarinya ketika saya kelas 6 SD –anak-anak mulai lebih mengerti sekitar usia SMP. Saya ingat berbaring di tempat tidur dan mendengar mama dan papa bertengkar  – biasanya diisi dengan papa berteriak. Saya harus mendengar itu hampir setiap malam....  Saya ingat kadang-kadang semua ini membuat saya tidak tahan.

Kristen: Saya melihat papa bertingkah seperti ABG—seperti orang yang berumur awal 20an padahal umurnya waktu itu sudah akhir 30an.

Leslie: Ini adalah putri keluarga McClain, namanya Kristen.

Kristen: Saya melihat bahwa papa sering tidak masuk akal. Saya sering melihat papa pingsan di lantai kadang-kadang di depan TV. Saya mengira itu normal sampai saya pergi ke rumah teman, dan saya baru menyadari bahwa itu tidaklah normal. Tidak normal bahwa orangtua saya bertengkar setiap hari. Saya tidak tahu bahwa bertengkar itu tidak normal.

Joy: Ketika anak-anak semakin besar, suasana rumah semakin gawat. Semakin kacau, dan kebiasaan minum Mark semakin memburuk.

Kristen: Saya melihat papa mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya diucapkan kepada seorang wanita kepada mama, dan saya ingat papa mengata-ngatai. Segala hal yang negatif yang bisa Anda bayangkan sudah pernah dikatakannya kepada kami. Saya ingat sekali saya pernah bertanya kepada papa apakah papa lebih mencintai alkohol daripada kami, dan papa tidak bisa menjawab. Saya rasa itu adalah salah satu luka terbesar dalam hidup saya.

Joy: Saya merasa sangat terbeban, dan saya menyadari bagaimana alkohol sudah menelan hidup kami dan betapa banyaknya waktu yang sudah saya habiskan untuk membereskan akibat dosa itu.

Leslie: Joy akhirnya menyadari bahwa satu-satunya cara agar dia dapat bertahan dalam komitmen pernikahannya adalah jika kuasa Kristus bekerja di dalam dirinya. Alih-alih meletakkan suaminya di pusat dunianya, Joy mengakui Kristus sebagai pusat dunianya.

Joy: Saya jatuh berlutut di lantai ruang tamu, dan saya hanya berseru-seru kepada Tuhan, “Saya ingin Engkau, Tuhan. Saya putus asa menginginkan Engkau.“  Dan sejak saat itu, saya mulai mempelajari Firman Tuhan. Saya mulai meminta kebenaran kepada Tuhan. “Tunjukkan kebenaranMu kepada saya, Tuhan.”  Sekian lama saya kesampingkan Tuhan dan menjadikan suami sebagai berhala saya, menjadikan pernikahan ilahi sebagai berhala saya, dan ini jelas tidak berhasil. Saya menjadi sangat kesepian dan merasa seolah-olah saya ditinggalkan.

Suatu hari saya meninggalkan rumah dan berseru-seru, berteriak sekuat tenaga saya kepada Tuhan, tentang betapa tidak adilnya semua ini, dan bahwa saya tidak sanggup mencium bau alkohol satu hari lagi pun. Saya sudah muak dengan semuanya.... Cukup sudah. Saya merasa bahwa Tuhan mengingatkan saya dalam roh bahwa semua dosa adalah bau yang busuk bagi Dia, dan saya sadar bahwa cara saya ingin mengontrol, cara saya mencoba memanipulasi, keraguan-keraguan saya, merasa bahwa saya yang paling benar terhadap suami saya, itu juga adalah bau busuk dosa.

Dosa suami saya begitu jelas. Begitu tampak dari luar. Semua orang bisa melihatnya. Dosa saya lebih terselubung. Dosa saya tampak agak rapi. Rasa bahwa saya yang paling benar dapat dibungkus dan dibenarkan dalam kemasan kecil yang cantik. Mabuk lebih sulit disembunyikan. Hati saya dingin. Motif saya tidak murni.

Tuhan memperlihatkan dan menyingkapkan kepada saya kejahatan dalam hati saya, keegoisan hati saya. Dia ingin bekerja di dalam diri saya, seperti Dia ingin bekerja dalam diri suami saya.

Pada saat itu saya sudah mencoba mencari pertolongan. Saya pernah meminta Mark untuk pergi konseling. Mark mau pergi, tetapi ketika mereka berkata bahwa Mark punya masalah minum-minum, dan mereka perlu mengatasi masalah ini, hati Mark menjadi keras, dan Mark tidak mau lagi pergi konseling. Mereka mengetahui perlunya mengedukasi saya tentang alkoholisme, maka saya mulai pergi konseling sendiri untuk mendapatkan pertolongan bagi diri saya sendiri.

Saya mulai menjangkau orang-orang dalam Tubuh Kristus, meminta mereka berdoa buat saya, tetapi seiring saya mendekat kepada Tuhan, seiring saya mendekat kepada Tubuh Kristus, Mark menarik dirinya semakin menjauh. Mark menjadi lebih terisolir. Mark menjadi lebih pemarah, dan lebih marah kepada saya karena saya mencari pertolongan.

Mark: Awalnya saya hanya sedikit marah, tetapi ketika hal itu terus berlanjut, saya menjadi semakin kasar.

Joy: Mark mulai memukul pintu hingga berlubang-lubang.

Mark: Semakin konsisten. Begitu terus sepanjang waktu.

Joy: Dia mulai menyerang saya. Dia mulai marah kepada saya. Dia makin sering mengancam saya.

Mark: Dan tidak pernah ada saat yang indah.

Joy: Saya ingat satu malam ketika saya berbaring di tempat tidur. Saya sedang membaca buku, kemudian Mark masuk dan mulai meneriaki saya. waktu saya tidak menjawab, kemarahannya memuncak sampai-sampai diangkatnya salah satu sisi ranjang dan dimiringkannya ranjang sehingga saya terjatuh ke lantai. Ranjang kemudian berdebam kembali ke posisinya semula. Saya kembali berbaring di atasnya, tidak tahu apa yang sebaiknya saya lakukan. Apa saya harus pergi? Apakah saya harus keluar dari kamar? Apa yang harus saya lakukan? Maka saya hanya berbaring kembali di atas ranjang.

Lagi-lagi Mark mengangkat sisi ranjang dan menggulingkannya ke sisi lain. Tentu saja saya terjatuh, dan saat itu saya sadar bahwa berikutnya yang akan dia pegang adalah saya, karena dia sudah meningkat dari hanya marah hingga melampiaskannya ke dinding, pintu, membanting apa saja, melempar apa saja, menyerang, dan sekarang dia mengambil apa yang sedang saya gunakan, dan dia ingin menyakiti saya, dan dia mengancam saya. Maka saya tidak dapat melakukannya lagi.

Jordan: Setelah saya sadar bahwa ini adalah masalah, saya mulai membela diri kalau papa sedang begitu dan saya membela mama dan kadang-kadang balas meneriaki papa. Itulah saat di mana segalanya tampak makin memburuk, tapi saya yakin kondisi papa tidak jauh lebih buruk, hanya tampaknya saja lebih buruk, karena kami mulai melawannya, dan papa akan menyerang balik. Kemudian semuanya terasa seperti peperangan di antara kami sekeluarga.

Joy: Kami pernah mengemis kepada Mark sebagai keluarga. Anak-anak berulang kali memohon kepadanya, “Pa, tolong cari bantuan.”

Mungkin satu gambaran yang tidak akan pernah bisa saya lupakan adalah anak saya. Umurnya waktu itu sekitar 15 tahun, dan dia sedang berada di ruang tamu. Dia berbicara dengan Mark dan memohon kepada Mark, “Tolong carilah bantuan. Kami akan melakukan apa saja bersama Papa. Kumohon. Kami bersedia menjalani apa pun bersama papa, tapi kami mohon, kami minta papa untuk mencari pertolongan.”  Putri-putri saya juga ada di sana. Mereka menangis. Saya pun menangis. Tapi putra sayalah yang mengatakannya pada hari itu, memohon dan mengemis kepada ayahnya.

Dan Mark hanya memandangi kami semua, dia berbalik dan berjalan pergi. Dia membawa beberapa barangnya dan meninggalkan kami. Putra saya merosot dan berlutut di lantai, menutup mukanya dan menangis sesenggukan. Dia hanya berbaring di sana dan menangis sesenggukan. Hatinya hancur. Hati kami semua hancur. Papa sudah meninggalkan kita, bagaimana kita akan bangkit? Apa yang harus saya katakan kepada anak-anak saya?

Setiap kali setelah kejadian-kejadian seperti ini, saya mengumpulkan mereka, dan kami berdoa. Kami meminta kepada Tuhan, kami memohon kepada Tuhan. Saya merasa jika saya tidak membawa anak-anak saya kepada Tuhan sepenuhnya, mereka akan berbalik kepada kepahitan di dalam hati mereka. Berulang kali saya harus menarik mereka dan memalingkan wajah mereka kepada Tuhan. Jika saya begitu putus asa, jika saya begitu hancur dan luluh lantak, mereka pun demikian, itu adalah masa yang sangat menyesakkan bagi kami.

Jordan: Banyak orang mungkin akan segera meninggalkan papa, atau jika tidak segera pun mungkin dua tahun kemudian – lima tahun atau sepuluh tahun kemudian- tetapi mama tetap bertahan dengan papa.  

Joy: Saya bertahan dengan suami saya karena fakta bahwa saya sudah berikrar, dan saya sudah sampai kepada pemahaman bahwa pernikahan adalah contoh hubungan yang hidup dan bernapas dari Kristus dan mempelai-Nya, dan bahwa Kristus tidak pernah meninggalkan mempelai-Nya, dan saya tahu bahwa peran saya dalam semuanya ini adalah untuk berdoa bagi suami saya.

Tidak seorang pun di dunia ini yang akan berdoa bagi pria ini seperti Anda. Anda dan pria ini adalah satu, dan hubungan ini sudah terputus. Hal yang sangat menakjubkan untuk dipahami adalah memahami Kristus dan mempelai-Nya yaitu Gereja serta betapa pentingnya dan betapa intimnya seharusnya perjalanan kita bersamaTuhan. Tidak ada yang akan berseru-seru demi suami saya seperti saya dan anak-anaknya.

Leslie: Kita telah mendengarkan kisah Joy dan Mark McClain. Saya tahu banyak pendengar yang turut merasakan kisah Joy. Anda mungkin sedang berada dalam pernikahan yang sulit, dan kisah hari ini adalah dorongan semangat agar Anda tetap berkomitmen dan beriman bahwa Tuhan dapat dimuliakan dalam situasi Anda. Dan saya rasa setiap kita pernah mengalami masalah menjadikan seseorang atau sesuatu sebagai berhala seperti yang disebutkan dalam kisah ini.

Nancy kembali untuk membantu kita merenungkan beberapa hal berikut ini.

Nancy: Yah, saya rasa pertanyaan utama yang dihadapi oleh Joy McClain adalah pertanyaan yang sama yang harus Anda dan saya jawab setiap hari sepanjang hidup kita. Apakah Anda berada dalam masa krisis atau Anda berada dalam musim perairan yang tenang, kita semua perlu bertanya: Siapa atau apa yang menjadi pusat dunia saya?

Di satu titik dalam hidupnya, Joy berkata, “Mark adalah pusat dunia saya.”  Tetapi ketika dunia itu mulai runtuh, dia menyadari bahwa tempat di pusat hidup kita harus diberikan kepada Yesus dan hanya kepada Yesus saja.

Jadi, siapakah yang berada di pusat dunia Anda? Apakah hidup Anda dibangun atas dasar hubungan dengan Kristus atau adakah seseorang atau sesuatu yang membuat Kristus terpinggirkan? Saya berharap Anda mau mengambil waktu hari ini untuk berhenti sejenak dan merenungkan, membiarkan Tuhan menyelidiki hati Anda dan berkata, “Apakah ada seseorang atau sesuatu yang mengambil tempat Kristus dalam hidup saya?” Dan menyatakan kembali, “Tuhan, saya ingin agar hidup saya seluruhnya adalah tentang Engkau, membawa kemuliaan bagiMu.”

Joy McClain menuliskan sendiri transformasi hati yang dialaminya dalam sebuah buku yang berjudul, Waiting for His Heart: Lessons from a Wife Who Chose to Stay. Saya yakin buku ini akan menjadi dorongan besar bagi semua orang yang sedang berada dalam situasi pernikahan yang sulit, teapi saya rasa buku ini juga akan bernilai dan menjadi penyemangat bagi orang-orang lain juga. Krisis dalam pernikahan Joy mendorong Joy kepada Kristus dan membuat Joy bersandar kepada-Nya dengan lebih mendalam, dan ini adalah sesuatu yang kita semua perlu lakukan setiap hari.

Kami bersedia mengirimkan satu eksemplar buku Joy yaitu Waiting for His Heart. Jika Anda menyumbangkan berapa pun bagi pelayanan Revive Our Hearts, dengan senang hati kami akan mengirimkan satu buku ini kepada Anda. Mintalah buku Joy jika Anda menelepon kami di 1-800-569-5959, atau Anda dapat mengunjungi kami secara online di ReviveOurHearts.com.  Silakan menyumbang, dan beritahukan  jika Anda menginginkan buku Joy.

Saya tahu kisah Joy menggemakan banyak kisah yang sama dari para pendengar sekalian, dan kisah Joy mungkin menimbulkan beberapa pertanyaan sulit tentang situasi khusus yang sedang Anda hadapi. Tidak ada jawaban yang mudah dan cepat, tetapi izinkan saya mendorong Anda untuk tidak berjalan sendirian dalam melewati krisis yang Anda hadapi. Anda mungkin perlu mencari seorang wanita yang sungguh-sungguh di dalam Tuhan di gereja Anda yang dapat mendorong Anda dan membantu Anda melalui beberapa pilihan sulit yang tengah Anda hadapi. Dan Anda mungkin perlu melibatkan para pemimpin gereja Anda –pendeta atau penatua.

Hari ini Joy McClain akan menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda di blog pendengar Revive Our Hearts. Jika Anda berkunjung ke situs www.ReviveOurHearts.com, dan Anda menyusuri bagian akhir naskah ini, Anda dapat meninggalkan komentar Anda yang dapat dibaca oleh publik. Hari ini dan sepanjang seri ini disiarkan dalam minggu ini, Joy akan mencoba menjawab sebanyak mungkin pertanyaan dan komentar Anda.

Saya juga berharap agar Anda mengunjungi situs kami dan menyaksikan film singkat yang dibuat oleh tim kami yang mengisahkan kisah Joy. Kami mempertunjukkan film ini di konferensi Wanita Sejati di musim gugur yang lalu, dan sejak saat itu orang-orang terus menanyakan cara agar dapat menyaksikannya. Anda dapat menyaksikannya juga di ReviveOurHearts.com. Saya rasa film ini adalah sesuatu yang mungkin ingin Anda bagikan kepada orang-orang lain yang Anda tahu sedang berada dalam situasi sulit dalam pernikahan mereka.

Besok kita akan mendengarkan bagian kedua dari kisah Joy. Pastikan Anda kembali bersama kami di Revive Our Hearts.

4 comments:

  1. whoa...kagum deh buat usahanya nerjemahin semua ini, semoga terus jadi berkat yang berbuah buat setiap orang yang baca ya Ka Lia =) will wait for the second and third part =D

    ReplyDelete
  2. Niat banget nerjemahinnya...THANKS for the reminder buat jadiin God as our source. May this be a blessing for many other people, as well. :-)

    ReplyDelete
  3. Nunggunya kudu sabar ya Mon.... Secara ga berani janji nih :P Part 2 baru separo... Dulu pas baru mulai nerjemahin kirain bentar, ternyata lumayan 3-4 jam huwaaa... *salahperhitungan*
    Ya udah ditekuni aja dah hahahaha.... Thanks for reading n dropping comment ya dear! :-*

    ReplyDelete
  4. Amin lah Mel, lagi pengangguran, yang lebih penting mah da ga dikerja2in wkwkwkwkw..... *blushing* :P

    ReplyDelete

Ayooo silakan berkomentar.... :)